Petualangan sehari di kepulauan seribu,aku termasuk baru di dunia travelling / backpacker. informasi yang di dapat dari jejaring internet, dari teman-teman tentang dunia traveling meningkatkan antusiasme aku untuk untuk lebih mengetahui dunia traveling, hingga akhirnya berbagai forum komunitas traveller & backpacker pun aku telusuri untuk menambah wawasan lebih dalam tentang dunia traveling dan seperti apakah persiapan yang harus dilakukan.
Singkat cerita, aku menemukan tawaran traveling yang menarik. Menarik karena ongkosnya itu lho, murah meriah pake banget. Gak sampe cepek untuk jelajah 3 pulau di Kep.Seribu. Tepatnya 88ribu udah termasuk transport, lunch, tiket masuk ke tempat wisata, de el el.. Wow! Pikirku waktu itu. Serta merta aku mencatat Contact Person si empunya posting. Dan pahamlah aku, ini bukan backpacker tapi open trip alias travel yang terorganisir. Tapi it’s okay, still my new experience, my first traveling with travel organizer J.
Setelah menentukan tanggal keberangkatan, aku mengajak adekku untuk ikut serta. Itung-itung destinasi dekat Jakarta, jadi tak mengganggu jadwal kuliah adekku yang baru aja diterima di STAN. Tanpa ragu, aku transfer biaya untuk 2 orang pada jadwal trip ke 3 pulau tanggal 13 Desember 2014. Dan, setelah konfirmasi ke Rani Journey, dipastikan aku masuk rombongan dengan pemandu wisata bernama mas Totok.
Hari itu pun tiba, aku dan dek Bagas janjian untuk ketemu di Stasiun terdekat dari Muara Kamal, pelabuhan tempat keberangkatan. Sesampai di stasiun Rawa Buaya masih pukul 6.30, masih cukup waktu sebelum deadline jam 8 pagi. Aku menemani adekku sarapan pagi. Aku masih mending karena bisa berangkat jam 6 kurang dari stasiun Tebet. Tapi adekku harus berangkat dari sebelum jam 5 dari kost nya di Bintaro. Hehehe
Sesuai informasi dari mas Totok, si pemandu wisata dan hasil dari surfing informasi di internet, dari stasiun kami lalu naik angkot putih menuju halte busway Rawa Buaya. Sampai disana bukan berarti lanjut naik busway, tapi naik omprengan berplat hitam. Hmm, dan benar saja disana sudah menunggu kerumunan mobil carry yang saling teriak menarik penumpang. Aku dan adek lalu masuk ke salahsatu omprengan berwarna merah, my fav’t color 😀
Perjalanan menuju Muara Kamal kami tempuh kurang lebih 45 menit. Seperti ciri khas jalanan Jakarta pada umumnya, lamanya perjalanan lebih disebabkan oleh kemacetan daripada panjang jaraknya. Dan betul saja, jalanan padat merayap dimana-mana. Apalagi di kawasan muara dekat laut yang sesak oleh pendatang yang mengadu nasib. Kost dan rumah tinggal di daerah seperti ini masih lebih murah untuk ukuran Jakarta, jelas pak sopir omprengan disela-sela ceritanya tentang daerah muara ini.
Setelah sampai di tempat yang tampaknya seperti pasar ikan, aku dan adek diberitahu kalau kami sudah sampai. Aku bergegas turun setelah sebelumnya membayar dan mengucapkan terima kasih pada pak supir omprengan yang ramah itu. Kami lalu bertanya pada seorang yang berpakaian hansip mengenai letak tepatnya Masjid An-Nur dari tempat kami berdiri. Dengan sabar, pak hansip itu pun menunjukkan jalan ke arah Masjid yang ternyata berada tepat di mulut laut.
Sesampai di Masjid An-Nur aku akhirnya bertemu dengan Mas Totok, si pemandu. Orangnya terkesan ramah dan ceria, pas lah sebagai seorang pemandu wisata. Dan disana sudah berkumpul beberapa rombongan kecil yang melingkar dengan geng nya masing-masing.
Aku dan dek Bagas pun menghabiskan waktu senggang kami dengan berfoto bergantian di pinggir laut. Dan ternyata, Muara Kamal ini dekat dengan Bandara Soekarno Hatta. Jadi kami bisa melihat pesawat yang baru take off dan mau landing dari jarak yang cukup jelas..
Setelah menunggu hampir sejam dan rombongan dinyatakan sudah lengkap kami pun rame-rame menuju perahu sewaan. Hari itu jumlah pesertanya cukup banyak, mencapai 47 orang, kata Mas Totok. Lumayan juga, pikirku waktu itu. Dan di akhir-akhir perjalanan nanti aku baru sadar, meski murah meriah, membuat trip seperti itu adalah bisnis yang cukup potensial J
Kami dibagi menjadi 2 kelompok yang menaiki 2 perahu sewaan yang berbeda. Aku dan dek Bagas lalu duduk di buritan perahu supaya bisa memfoto seluruh penghuni perahu dari depan. Selain itu, kami juga bisa leluasa untuk foto di pojokan depan perahu. Dan bismillah, sesaat kemudian perahu bermesin motor itu pun berangkat.
Perahu berjalan dengan lambat dan lalu berangsur-angsur cepat namun masih dalam batas kewajaran. Bunyi mesin perahu yang cukup bising tidak menggangu keasyikan kami dalam berlayar. Apalagi bagiku yang sudah lama tidak menikmati perjalanan santai di atas laut naik perahu nelayan seperti itu. Terakhir kali aku melakukan jelajah laut diatas perahu kecil seperti ini adalah tahun 2011 lalu. Saat itu dalam rangka survey nelayan di beberapa propinsi, tugas kantor lah. Tapi lumayan juga, bisa berkeliling di pesisir Jawa Timur dan Kalimantan Timur hingga di ke Tarakan sono. Mengenal kehidupan nelayan dan bagaimana kerasnya usaha mereka mencari nafkah di atas perahu.
Semakin meninggalkan pelabuhan berarti semakin merasakan tingginya gelombang laut. Perahu kami terombang-ambing dan baju kami beberapa kali terkena percikan air laut yang menggelora. Tapi kami semua menikmatinya dan yakin kami akan baik-baik saja. Meski kemudian terbesit pula rasa iri ketika melihat perahu rombongan wisata lain yang dilengkapi dengan rompi orange. Tapi kami tetap mafhum sih, namanya juga trip murmer (baca: murah-meriah). Hehehe
Perjalanan menuju pulau pertama memakan waktu sekitar satu jam. Ternyata kami diarahkan ke pulau yang terjauh dari 3 gugusan pulau tujuan, yakni Pulau Kelor. Dari kejauhan mataku sudah menangkap pulau serba putih dengan sebuah bangunan bata kokoh berdiri di salahsatu sisi nya. Yap, pulau Kelor ini adalah salah satu pulau yang dulu dipake sebagai benteng pasukan Belanda. Dan meski sudah banyak terkena abrasi air laut, benteng yang bernama benteng Martello itu masih berdiri cukup kokoh.
Menurut keterangan yang aku gali dari internet dan dari cerita pemandu wisata kami, pulau Kelor ini adalah satu dari beberapa pulau di gugusan Kep.Seribu yang saat ini didapuk menjadi Taman Wisata Arkeolog. Pulau ini terutama dikenal karena adanya Benteng Martello yang dibangun pada abad 17 oleh VOC untuk menghadapi Portugis. Selain itu, disekeliling pulau seluas … ini juga bertaburan galangan kapal. Ini menunjukkan bahwa pulau ini salah satu akses yang cukup ramai ke Batavia (baca: Jakarta) ratusan tahun silam.
Pulau Kelor yang memiliki pasir putih dan pemandangan laut yang jernih ini seakan kontras dengan taburan reruntuhan bangunan masa lampau berdinding bata. Eksotisme nya begitu terlihat. Aku dan adekku tak puas-puasnya berfoto dari berbagai sudut pulau ini. Bahkan tanpa sungkan, aku dan adek bergantian memanjat Benteng Martello dan mengabadikan petualangan tersebut,
Di Pulau Kelor itu juga terdapat gazebo untuk beristirahat. Pulau Kelor ini konon terhubung dengan Pulau Cipir dan Pulau Onrust, dua pulau tujuan kami berikutnya. Hal itu dibuktikan dengan adanya bangunan memanjang ke tengah laut yang seakan terputus begitu saja. Selain itu, konon terdapat pula Kuburan Kapal Tujuh atau Sevent Provicient serta awak berbangsa Indonesia yang memberontak dan akhirnya gugur di tangan Belanda.
Puas keliling dan meninggalkan jejak petualangan, aku dan rombongan kemudian meninggalkan Pulau berpasir putih yang indah ini menuju ke tujuan kami berikutnya, Pulau Cipir.
Tak seperti Pulau Kelor yang merupakan hamparan pasir putih, Pulau Cipir ini penuh dengan bangunan yang menutupi seluruh pulau. Perahu kami pun merapat di dermaga dan kami bisa berjalan ke pulau tanpa kesulitan. Kalau di Pulau Kelor sih kita harus meloncat dari atas perahu untuk sampai ke pasir putihnya. Maklum, tidak ada dermaga di Pulau Kelor, jadi perahu harus menebar jangkar dan merapat pelan-pelan ke bibir pantai.
Aku menduga kami akan makan siang di Pulau Cipir ini, mengingat jam sudah menunjukkan hampir pukul 12 siang. Tapi aku salah, makan siang ternyata digelar di Pulau Onrust, tujuan terakhir kami. Keputusan itu bukan tanpa alasan dan begitu mendarat di Pulau Cipir aku mengerti dengan benar alasan apa itu.
Pulau Cipir ini ternyata bekas kawasan rumah sakit! Bukan rumah sakit bagi penderita penyakit menular sih, tapi kamar perawatan bagi calon jamaah haji. Tapi meski begitu, mengingat tempatnya yang “terkurung” di pulau yang dikelilingi laut, mau tak mau aku mengigil juga membayangkan gimana rasanya dirawat di dalamnya (-_-)”
Di pintu masuk Pulau ini, kami disambut dengan papan bertuliskan “Taman Arkeologi Onrust – Pulau Cipir”. Agak masuk ke dalam, kami langsung disambut dengan hamparan sisa-sisa bangunan rumah sakit. Sisa-sisa reruntuhan itu berpadu serasi dengan rindangnya pohon-pohon hijau yang batangnya besar-besar. Memang sih, Pulau Onrust yang akan kami kunjungi terakhir itu adalah transit bagi jamaah haji di jaman penjajahan dulu. Untuk itu, bisa dipahami kalau kemudian dibangun pula pusat kesehatan bagi para jamaah haji.
Di Pulau Cipir ini, ada beberapa spot yang selalu jadi tujuan wisatawan untuk berfoto. Selain di papan-papan petunjuk reruntuhan rumah sakit, di pulau ini juga ada beberapa meriam tua. Nah lho, serem gak sih, di kawasan rumah sakit tapi dipasang beberapa meriam. Tapi ya sekali lagi aku berusaha mengingatkan diri sendiri, itulah arti bangunan bersejarah. Dalam bisu, mereka mengingatkan kita kembali akan suatu masa di jaman penjajahan dulu. Indonesia merdeka belum ada satu abad, sementara bangunan-bangunan itu dibangun di abad 17, masa-masa awal Belanda menduduki negara tercintaku ini. Dan tentu saja itu jaman perang, meriam adalah salah satu simbol pertahanan dalam perang!.
Setelah puas berfoto-foto di sekujur spot-spot keren di Pulau Cipir, aku dan adek kemudian mampir di satu-satunya warung yang ada. Dan karena itu, aku harusnya menyadari bahwa harga makanan pasti jauh diatas kewajaran. Benar saja, harga sebuah pop-mie bisa melambung berkali-kali lipat boo. Aku akhirnya tetap beli dua buah pop-mie. Selain karena lapar, aku berpikir gak ada salahnya membantu kegiatan ekonomi disini 😀
Sehabis makan pop-mie di gazebo pinggir pantai didekat meriam, aku dan adek kemudian mencari toilet umum. Syukurlah toilet bersih tersedia dengan baik di Pulau Cipir itu. Bukan seperti Pulau Kelor yang airnya asin dan agak lengket. Air di Pulau Cipir ini diluar dugaan seperti air tawar pada umumnya. Bahkan jauh lebih bagus kualitasnya dari air di kawasan Muara Kamal yang sempat kurasakan di toilet Masjid An-Nur.
Kata petugas pulau yang sempat kuajak bicara (sayangnya aku gak nanya nama beliau hmm) Pulau Cipir ini memiliki bor untuk menggali air bawah tanah. Awalnya sih aku mengira ada teknologi penyulingan air laut untuk kemudian diubah menjadi air tawar. Dan setelah tahu mengenai fakta adanya air bawah tanah, aku tetep terkejut. Wah ternyata meski daratan begitu kecil, asalkan dipenuhi dengan pepohonan hijau, tetap bisa menyimpan air tawar yang baik.
Waktu menunjukkan hampir pukul 1 siang, aku dan adek lalu bergegas menemui mas Totok untuk menanyakan dimana kami bisa sholat dhuhur. Katanya kami bisa sholat nanti di masjid di Pulau Onrust. Tak lama, rombongan pun bertolak ke pulau terbesar dari gugusan 3 pulau wisata itu. Dan belakangan aku tahu, Pulau Onrust ini adalah pulau terdekat dari daratan.
Dari jauh aku sudah bisa melihat kalau pulau Onrust ini adalah pulau yang memang sudah dijelmakan menjadi tempat wisata. Disana terdapat dermaga yang bisa menampung banyak perahu sekaligus, masjid, kantin-kantin, dan bahkan panggung wisata. Di pulau ini juga terlihat berserakannya sampah-sampah yang mengapung dipinggir dermaga.
Tapi syukurlah, bangunan-bangunan baru itu hanya ada disekitar bibir dermaga. Ketika melangkah semakin kedalam, aku merasakan lagi suasana masa lampau dengan reruntuhan bangunan dimana-mana. Pasca makan siang dan menunaikan sholat dhuhur, aku dan adek bertualang sendiri menyusuri pulau bekas transit jamaah haji itu. Kami memutuskan tidak mengikuti rombongan karena mereka hanya melihat-lihat sekedarnya saja. Sedangkan aku ingin mengeksplore situs-situs sejarah itu melalui satu demi satu papan keterangan yang tersebar disana.
Langkah kami di pulau sejarah ini dimulai dengan melihat bertebarannya bekas bangunan yang memiliki banyak bekas pilar yang berjejer didalamnya. Rupanya itu adalah barak-barak haji yang dibangun oleh Belanda tahun 1911 hingga 1933 lalu. Di pulau Onrust itu sendiri dikatakan telah dibangun 35 barak haji yang tiap baraknya bisa menampung 100-an jamaah haji. Subhanallah, ternyata di masa lalu jumlah jamaah haji kita juga sudah ribuan jumlahnya J
Dan ternyata barak itu tidak dibangun asal jadi. Bangunan itu juga dilengkapi dengan pengaman yang disebut pagar anti tikus. Disebutkan dari sebuah papan, pada masa itu masyarakat Batavia banyak diserang penyakit yang berasal dari kencing tikus (Leptospirosis). Untuk itu dibangunlah pengaman untuk mencegah masuknya hewan pengerat itu.
Melangkah mendekati pantai, sisa-sisa perang masa penjajahan kembali tempampang dengan jelas. Ternyata jauh sebelum difungsikan sebagai barak penampungan jamaah haji, gugusan pulau itu memang menjadi benteng Belanda di laut Jawa dan selat Sunda. Disebutkan, pada masa-masa awal kedatangan Belanda, kerajaan-kerajaan nusantara dan pasukan dari Inggris sering menyerbu Batavia. Untuk itu pada kurun waktu tahun 1658, Belanda banyak membangun benteng pertahanan. Tahun 1671 benteng itu diperluas menjadi benteng segi lima, Benteng Fortress. Selanjutnya tahun 1671 dilengkapi dengan gudang dok dan kincir angin.
Benteng-benteng itu juga dilengkapi dengan pos pengintai dan tempat penyimpanan mesiu yang disebut Bastion Utama. Namun sayang, akibat tiga kali gempuran Inggris pada tahun 1800, 1806 dan 1810, Bastion Utama itu hancur lebur. Sementara Menara Mortello yang dibangun pada 1850 di Pulau Kelor itu ternyata hancur karena dahsyatnya gelombang laut Tydal akibat letusan gunung Krakatau pada 1883. Semua keterangan sejarah itu berserakan di papan-papan keterangan yang tersebar di penjuru Pulau Onrust.
Selain benteng-benteng itu, di pojokan pulau Onrust itu juga terdapat bangunan berpagar kuning rapat. Menurut papan petunjuknya, bangunan itu adalah penjara yang pada tahun 1942 digunakan pasukan Jepang untuk mengadu kekuatan para tahanan. Tak jauh dari penjara, terdapat kompleks makam Belanda berjumlah 40 nisan yang mana mereka meninggal muda akibat penyakit tropis. Didekat itu, ada juga kompleks makam muslim dengan salah satu makam yang terlihat dikeramatkan, dengan tirai didalamnya.
Setelah puas berkeliling aku dan adek kemudian berfoto-foto di pinggir pantai dengan latar belakang galangan kapal. Dan galangan kapal dan dermaga yang masih berdiri kokoh itu ternyata adalah yang paling tua usianya dari semua bangunan di pulau itu, yakni tahun 1615. Mereka seakan menjadi saksi perjalanan ratusan tahun dari awal masa kedatangan Belanda hingga ditetapkan menjadi suaka purbakala dan terbuka bagi para wisatawan.
Aku dan adek sangat menikmati petualangan kami seharian itu. Aku pribadi senang bisa mengeksplore sejumlah situs sejarah dan menelaah pelajaran sejarah didalamnya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menarik pelajaran dari sejarahnya, kalimat bijak itu selalu menyemangatiku untuk terus mempelajari dan menyelami sejarah bangsa, sedikit demi sedikit. Rasa puas juga kami rasakan dari sejumlah teman-teman baru seperjalanan. Meski murah meriah, perjalanan itu jauh dari kesan murahan. A day traveling kami kemudian ditutup dengan berfoto bersama di dekat batu prasasti Pulau Onrust.
Demikian sepenggal kisahku hari ini yang akan menjadi kisah berharga di masa-masa mendatang. Semoga bermanfaat!
By Dita.
Jakartatraveller Contributor
yuk share artikel petualangan kamu!, kirimkan ke email travellerjakarta@gmail.com, follow instagram kita @jakartatraveleller dan jangan lupa ikut kopi darat nya ya :). jangan malu untuk mengisi komentar di bawah ini 🙂
eh iya ada merchandise menarik loh buat kalian yang sudah mau menjadi kontributor artikel di jakartatraveller.com
Leave a Reply